Memahami
Hasrat Terdalam pada diri setiap Remaja
(
part 1 )
Baru-baru
ini saya tersadarkan oleh suatu pengalaman yang terjadi secara berulang pada
training untuk remaja yang saya selenggarakan dengan tim. Setiap remaja yang
menjadi peserta training kami dorong untuk mampu mengeluarkan potensi
terbaiknya. Bagaimana caranya? Idenya sebetulnya sangat lazim. Kami membuat
kompetisi antar kelompok. Yang menarik, di setiap malam ketika dilakukan
evaluasi, tim yang mendapatkan poin terendah bakal mendapatkan konsekuensi. Bentuknya
sangat sederhana, mereka mesti tinggal lebih lama dibanding teman-temannya dan
bakal mendapatkan pembekalan tambahan dari saya sebagai trainer utama. Jadi,
ketika teman-temannya sudah mulai beristirahat atau melakukan aktifitas santai
sebelum tidur, mereka masih harus tinggal lebih lama antara 30 sampai 45 menit
untuk duduk bersama dengan saya. Mendiskusikan apa feedback yang bisa mereka
ambil untuk bisa memperbaiki kondisi tim, bagaimana caranya supaya keesokan
harinya mereka bisa mendulang poin lebih tinggi dan bagaimana supaya mereka tidak lagi menjadi tim yang terendah
perolehan poinnya. Luar biasa! selalu.... pada keesokan harinya, langsung di
sesi pertama, tim-tim yang semula terendah poinnya menjadi tim yang tertinggi
perolehan poinnya. Kondisi ‘peak performance’ tersebut terus mereka pertahankan
hingga acara berakhir. Sehingga tidak jarang tim yang semula poinnya terendah
menjadi tim yang terbaik atau minimal runner up.
Kejadian-kejadian
seperti ini menyadarkan saya, bahwa ternyata benar sekali apa yang dikatakan
oleh Adam Khoo, bahwa di dalam setiap diri remaja ada hasrat yang sangat besar
untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang terunggul, menjadi sukses, menjadi
kebanggaan orang tuanya.... Hanya mereka tidak tahu bagaimana caranya. Bila ada
harapan yang sama antara anak-anak remaja dan kita sebagai orang tua, tetapi
mengapa fakta yang terjadi di lapangan seringkali terjadi “konflik” remaja
dengan orang tuanya? Kita sebagai orang tua sering merasa kesulitan berkomunikasi
dengan anak-anak remaja. Kita ingin memotivasi mereka, mengarahkan mereka tapi
yang biasanya terjadi justru ‘pembicaraaan-pembicaraan menguras energi dengan
tensi emosional yang sedikit negatif’. Apa yang yang sebetulnya terjadi?
Mengapa harapan yang sama tidak lantas membuat kita mampu berpartner dengan
anak-anak remaja?
Pelajaran yang saya dapatkan ketika
berinteraksi dengan remaja-remaja tersebut, mereka sebetulnya
jauh lebih asyik ketimbang
orang-orang dewasa yang cenderung ‘sudah terlalu banyak makan
asam garam (maaf ya, bapak-bapak.. ibu-ibu… hehehe). Pikiran mereka
yang masih polos
dan penuh rasa ingin tahu, terkadang sangat ceplas ceplos
dan sering dianggap kurang
sopan, justru sangat membantu
saya untuk bisa melihat
sesuatu hal dengan lebih
jernih dan objektif. Pelajaran
yang paling penting adalah
berkomunikasi dengan remaja membutuhkan
strategi yang berbeda
dengan orang dewasa. Salah
satunya adalah dengan strategi bertanya.
Melalui
cara bertanya yang memberdayakan dan menstimulus pikiran kreatif mereka, itu
jauh lebih optimal dampaknya dibandingkan menasehati atau bahkan yang lebih
parah adalah mengomeli dan memarahi. Sering kali, tanpa kita sadari karena
kepedulian dan kekhawatiran kita yang sangat besar pada anak-anak remaja, kita
melanggar wilayah ‘kewenangan’ mereka. Sedangkan, dunia remaja adalah dunia pencarian identitas diri dan
merupakan suatu hal yang sangat penting dan bersifat sensitif bagi remaja
mengenai ‘wilayah kewenangan’ ini. Saat kita sebagai orang tua, mencoba
menunjukkan kepedulian kita dengan ‘mengarahkan’ yang kita anggap baik
berdasarkan pengalaman hidup kita, maka remaja akan menerjemahkan sebagai upaya kontrol dari pihak-pihak dewasa,
yang itu artinya membatasi ‘aku’. Bisa dibayangkan, yang lazim terjadi biasanya
adalah ‘pemberontakan’ atau ‘pembangkangan’. Dan kemudian, kita akan menganggap
anak-anak remaja kita sebagai ‘sulit diatur’ dan sedang mengalami masa-masa ‘tidak
bisa dinasehati’.....J Lumrah
terjadi, inilah penyebab utama miss
comunication antara orang tua dan anak-anak remaja mereka.
Selanjutnya, bagaimana persisnya kita memetakan
dengan tepat wilayah kewenangan
dan bagaimana strategi melintasi
wilayah kewenangan ini dengan
damai? Eng ing eng.. InsyaAllah kita akan ketemu edisi selanjutnya:
Memahami Hasrat terdalam pada diri setiap remaja ( Part 2 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar